Mengenang Ahmad Yani, Jenderal yang Dibunuh dalam Peristiwa G30S
Ahmad Yani merupakan sosok utama target peristiwa Gerakan 30 September atau G30S. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah salah satu pahlawan revolusi dan nasional Indonesia. Dirinya menjadi sosok yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno.
Dalam buku 99 Tokoh Muslim Indonesia (2009) oleh Salman Iskandar, Jenderal Ahmad Yani terkenal sebagai seorang tentara yang berseberangan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Saat menjadi Menteri atau Panglima Angkatan Darat pada 1962, dirinya menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Masa kecil
Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo. Ayahnya bernama Sarjo bin Suharyo dan ibunya, Murtini. Kemudian pada 1927, mereka merantau ke Bogor karena sang ayah bekerja untuk seorang jenderal Belanda. Achamd Yani kecil mengawali sekolahnya di HIS (setingkat SD) di Bogor dan selesai pada 1935.
Dirinya kemudian melanjutkan sekolah ke MULO di Bogor dan lulus pada 1938. Selanjutnya masuk ke AMS di Jakarta. Di AMS, Yani hanya bersekolah hingga kelas dua.
Di sana, Yani harus mengikuti program wajib militer yang dicanangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dia mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan dilanjutkan di Bogor.
Dari situlah, Yani mengawali karirnya di dunia militer dengan pangkat sersan. Setelah pendudukan Jepang pada 1942, Yani mengikuti pendidikan Heiho di Malang dan menjadi Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
Prestasi Ahamd Yani
Berikut beberapa Prestasi Ahmad Yani selama berkarier di dunia militer:
- Ahmad Yani menjadi salah satu pasukan yang berhasil menyita senjata Jepang di Magelang.
- Pada saat Agresi Militer I, Achamd Yani diangkat sebagai Komando TKR Purworejo dan pasukannya berhasil menahan Belanda di daerah Pingit.
- Pada saat Agresi Militer II, Achamd Yani dipercaya sebagai Komandan Wehrkreise II meliputi daerah pertahanan Kedu.
Pada saat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Ahmad Yani bertugas di Tegal, Jawa Tengah dengan jabatan Letnan Jenderal. Dirinya mendapatkan mandat untuk membentuk pasukan khusus yang diberi nama Benteng Raiders. Pasukan tersebut bertugas untuk menghentikan pasukan DI/TII.
Sekolah di Amerika dan Inggris
Berkat kecerdasan dan keberaniannya, Ahmad Yani dibiayai Angkatan Darat untuk memperdalam ilmu militer di Command and College Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Setelah itu Yani juga mengikuti pendidikan selama dua bulan di Special Warfare Course di Inggris.
Ahmad Yani di mata Istana
Dialnsir dari Historia, Yani memiliki reputasi yang sangat baik di mata Istana. Saat pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner) terjadi di Sumatera Barat, Ahmad Yani yang saat itu berpangkat Kolonel berhasil mengamankan pemberontahan PRRI. Kemudian dirinya menjabat kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang berada di bawah komando presiden.
Dalam waktu empat tahun sejak memimpin Operasi 17 Agustus di Padang, nama Yani terus melesat. Sebagai perwira profesional, Yani memperoleh kepercayaan untuk dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pada 23 Juni 1962.
Jenderal kesayangan Sukarno
Salah satu pakar politik Monash University, Harold Crouch menilai Yani memiliki citra diri yang berbeda dari Nasution. Meskipun mereka sama-sama sosok antikomunis.
Namun Yani bisa menentang kebijakan Sukarno mengenai PKI secara lebih halus dan dapat diterima. Sebagai orang Jawa, Yani memperlakukan Sukarno sebagai seorang "bapak". Meski bertindak salah namun tidak boleh ditentang secara terbuka. Hal tersebut yang membuat Yani lebih mudah masuk menjadi bagian dari lingkungan Istana Sukarno.
Wafat karena ditembak
Pada 1 Oktober, Ahmad Yani menjadi salah satu korban penculikan G30S. Saat akan dijemput, Achamd Yani menolak untuk ikut serta. Karena melakukan perlawanan, Ahamd Yani mendapat serangan tembak hingga terbunuh di depan kamar tidurnya.
Setelah tewas, jenazah Ahmad Yani dibawa ke Lubang Buaya dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua bersama enam korban lainnya.
Pada 4 Oktober 1965, jenazah ditemukan dan dimakamkan dengan layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Oleh negara, Jenderal Anumerta Ahmad Yani dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Presiden Nomor III/KOTI/1965.
Sumber: Kompas